
Laporan ini merupakan ringkasan kegiatan diskusi Transportologi yang bertajuk “Masa Depan Transportasi Kota Solo” yang dilaksanakan pada 27 Juli 2019 di Monumen Pers Nasional, Solo.
Diskusi ini menghadirkan narasumber dari Dinas Perhubungan (Dishub); Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR); Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapppeda); perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); operator bus Batik Solo Trans (BST) dari PT. Bengawan Solo Trans (BST); dan pengamat transportasi dari Transportologi.
Masalah transportasi merupakan masalah publik yang kini menjangkiti kota-kota atau daerah di Indonesia. Kota Solo selama satu dekade terakhir merasakan pertumbuhan lalu lintas yang semakin pesat. Titik-titik kemacetan muncul di setiap jam sibuk dan semakin sulit untuk diurai.
Masalah ini, jika tak dapat ditangani dengan baik, akan membebani kehidupan warga. Warga akan menghadapi waktu tempuh perjalanan yang lebih lama, biaya transportasi yang lebih mahal, masalah kesehatan, penurunan kualitas hidup akibat polusi udara, dan krisis iklim yang dipicu oleh tingginya emisi karbon dan pemanasan global. Survei singkat pada awal diskusi menunjukkan bahwa warga telah merasakan kondisi lalu lintas Solo yang semakin buruk.

Pertanyaannya, apa saja yang sudah dilakukan oleh Kota Solo untuk mengatasi masalah yang kian lama kian pelik? Bagaimana Kota Solo menghadapi tantangan masa depan, seperti krisis iklim? Imaji sistem transportasi kota seperti apakah yang diinginkan oleh warga atau yang hendak dibangun oleh pemerintah kota?
Solo Dulu dan Kini
Untuk mengentaskan masalah transportasi, Kota Solo melakukan perbaikan angkutan umumnya. Hari Prihatno, Kepala Dishub, menargetkan prinsip nyaman, aman, murah, dan terjangkau sebagai indikator kemajuan angkutan umum Kota Solo. Proses tercapainya indikator pelayanan angkutan umum terus diupayakan sejak tahun 2009 silam. Kota Solo tercatat sebagai salah satu kota yang memulai transformasi pelayanan bus kota menjadi sistem bus transit, bahkan lebih dahulu mengupayakan perubahan layanan tersebut ketimbang kota besar seperti Surabaya.
Sayang, upaya untuk memperbaiki angkutan umum ini tidak mudah. Angkutan umum di Solo sudah kehilangan tajinya selama hampir dua dekade dalam melayani pergerakan masyarakat. Sadadmodjo, manajer operasional PT. BST, menyatakan jumlah pengguna angkutan umum terus berkurang sejak kepemilikan kendaraan pribadi mulai meningkat di awal tahun 2000-an. Persaingan dengan kendaraan pribadi memukul pelayanan angkutan umum hingga tahun 2004-2005, masa trayek angkutan umum mulai berguguran.
Kemunculan bus BST pada 2010 dengan pengelolaan oleh DAMRI merupakan langkah awal perbaikan angkutan umum. Upaya berikutnya, pemerintah Kota Solo bersama operator-operator bus kota yang tersisa (5 dari 20 operator) urun rembug selama dua tahun lamanya dan menghasilkan kesepakatan kerjasama. Proses itu menghasilkan keputusan pembentukan PT. BST dan pengelolaan bus BST koridor 2 oleh PT. BST. Pengelolaan bus BST oleh operator di Kota Solo dilakukan tanpa subsidi oleh pemerintah.
BST secara mandiri mengembangkan sistem untuk memenuhi ketentuan standar pelayanan minimum (SPM) yang ditetapkan oleh Dishub. Sadad menyatakan tantangan terbesar pengelolaan BST terletak pada perubahan pola pikir dalam mengelola bus. Kebiasaan 30 tahun yang tidak efisien dan kurang mengedepankan layanan tidak bisa hilang begitu saja. Sampai sekarang, PT. BST masih melakukan beragam upaya untuk mengedukasi kru dan masyarakat untuk mengangkat penggunaan angkutan umum sebagai budaya modern masyarakat Kota Solo.
Pada 2016, Kota Solo kembali melakukan restrukturisasi angkutan kota (angkot) dengan membentuk dua koperasi angkot. Selain itu, pemerintah kota juga meremajakan armada angkot sebagai bagian dari angkutan umum BST. Pemkot Solo menargetkan peremajaan 204 armada angkot. Hingga saat ini, ada 101 armada yang telah diremajakan. Langkah restrukturisasi dan peremajaan angkot merupakan pioneer dibandingkan kota lainnya, bahkan sebelum Jakarta.
Sebelum masalah-masalah BST mampu dientaskan, BST kembali menemui masalah baru. Penumpang bus BST di koridor 2, misalnya, yang sempat naik pascaberoperasi pada 2013, kembali menurun akibat peningkatan penggunaan angkutan daring dan kebijakan sistem zonasi. Sebagian pengguna BST koridor 2 yang didominasi oleh pelajar sekolah (sekitar 40 persen dari total penumpang) berpindah menggundakan angkutan daring atau diantarkan oleh orang tua mereka. Sadad mengutarakan selama beberapa bulan terakhir, rata-rata jumlah penumpang harian bus BST berada pada posisi terendah dibandingkan dari data yang selama ini mereka himpun.
Sementara upaya pengembangan angkutan umum mengalami banyak sandungan, infrastruktur Solo juga mengalami perubahan. Pada 2018, Solo membangun jalan lintas atas (flyover) Manahan, yang sayangnya menimbulkan masalah lalu lintas baru, menghilangkan aksesibilitas pejalan kaki dan pesepeda, dan menggeser koridor layanan BST. Solo juga mencoba menerapkan kebijakan parkir elektronik di Jl. Gatot Subroto, yang sayangnya mengalami kegagalan.
Pada periode 2018-2019, Solo juga melakukan penataan ulang fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor di Jl. Gatot Subroto dan Jl. Slamet Riyadi. Penataan fasilitas kendaraan tidak bermotor dengan mengurangi jalur hijau, yang kini menjadi penghalang antara jalur lambat dan jalur cepat, dilakukan untuk menambah ruang parkir bagi sepeda motor di jalan raya.
Pengurangan jalur hijau ini menjadi solusi yang tidak bisa dihindari untuk mengatasi masalah pertambahan kendaraan yang membutuhkan ruang parkir dan meminimalisasi perubahan ruang jalur lambat bagi kendaraan bermotor. Endah Sitaresmi, kepala DPUPR, mengatakan tidak ingin upayanya menata jalur hijau di jalur lambat dianggap upaya yang kontraproduktif karena dinas ini juga yang mempertahankan jalur lambat di Kota Surakarta untuk pelayanan jalur sepeda terpanjang di Indonesia.
Ia juga mengungkapkan banyaknya pembangunan yang kini berlangsung di Solo merupakan upaya penyediaan infrastruktur secara bertahap. Terlebih lagi, ada keterbatasan anggaran yang membuat pembangunan diadakan secara parsial. Senada dengan Sita, Dendy dari Bapppeda Solo juga turut menekankan upaya penyediaan infrastruktur ini merupakan sebuah dorongan memajukan kegiatan kota.
Jebakan Kesulitan
Mayoritas narasumber diskusi mengutarakan bahwa perbaikan transportasi Solo itu sulit. Masalah yang sukar diselesaikan yaitu tantangan pergerakan komuter Solo dari Kawasan penyangga Solo, seperti Boyolali, Klaten, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, dan Sukoharjo dan ketiadaan aturan fundamental yang yang sinergis yang melandasi kebijakan transportasi di seluruh daerah dan kota.
Sugeng Riyanto dari DPRD Solo mengungkapkan membicarakan transportasi Solo tidak bisa dilakukan hanya dengan berbicara tentang Solo. Ia menyarankan agar kebijakan dan komitmen tersebut harus didorong dari pemerintah yang lebih tinggi yaitu pemerintah tingkat provinsi maupun tingkat nasional karena berkaitan dengan lintas batas dan wilayah.
Tanpa adanya regulasi yang sinergis di antara seluruh wilayah, provinsi, maupun pusat, pengelolaan transportasi di Solo itu percuma. Pembuatan kebijakan transportasi di Solo saja hanya akan membuat kebijakan yang parsial dan sia-sia. Misalkan saja, kota atau daerah tidak bisa mengambil tindakan apapun mengenai kebijakan mengenai kepemilikan kendaraan bermotor ataupun angkutan daring yang diatur oleh pemerintah pusat, kendati keduanya menimbulkan masalah di daerah.
Hari menambahkan dalam mengurus masalah angkutan daring, pemerintah maupun warga selalu mengurus masalah teknologi, bukan transportasinya. Warga pun tidak mementingkan keselamatan, melainkan kecepatan dan angkutan yang murah.
Untuk melakukan perlawanan dengan mengadopsi teknologi canggih juga bukan hal yang mudah dilakukan. Ini salah satu masalah yang kini dihadapi oleh BST yang hendak menerapkan sistem pembayaran elektronik. Teknologi yang ditawarkan oleh penyedia uang elektronik tidak bisa begitu saja digunakan dalam bus karena memiliki kekurangan dalam pengawasan manajemen keuangan. PT. BST masih melakukan penjajakan dan diskusi lebih lanjut untuk membuat sistem yang lebih baik, tidak hanya mudah digunakan oleh pengguna, tetapi juga mudah dalam pengawasannya.
Jembatan Masa Depan
Masalah di bidang transportasi yang pelik seringkali membebani dan membuat kota kesulitan untuk melangkah maju. Namun demikian, Titis Efrindu Bawono dari Transportologi mengungkapkan bahwa, pada dasarnya, Kota Solo mampu untuk memperbaiki transportasi dan menyediakan sistem angkutan umum yang prima. Kemampuan tersebut bergantung pada komitmen kota dalam mendorong kebijakan angkutan umum sebagai prioritas.
Strategi pembangunan kota dan infrastrukturnya harus sinergis dan mendukung operasional angkutan umum. Koordinasi antar dinas teknis membantu untuk mengomunikasikan strategi pembangunan tersebut. Jangan sampai muncul kebijakan yang justru menghambat kemajuan pengembangan angkutan umum. Terakhir, pengembangan transportasi di Kota Solo membutuhkan integrasi sistem yang menyeluruh hingga Solo Raya untuk mengubah sistem, budaya, dan ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Mendorong angkutan umum menjadi angkutan umum masa depan membutuhkan kebijakan dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk menyediakan sistem pelayanan yang mumpuni. Penguatan sistem angkutan umum dapat menjadi andalan ketika memiliki perencanaan sistem pelayanan yang jelas dimulai dari kehandalan terhindar dari kemacetan, ketepatan waktu, kenyamanan, dan kemudahan dalam bertransaksi.
Rencana perbaikan transportasi Solo selain memperhatikan masalah-masalah itu, juga perlu mengakomodasi warga. Warga memiliki harapan agar penataan sistem transportasi perkotaan, selain memprioritaskan angkutan umum yang cepat, murah, dan handal, juga perlu memperhatikan keselamatan jalan, ketersediaan aksesibilitas (trotoar dan jalur sepeda), transportasi ramah lingkungan, biaya transportasi yang murah, penataan parkir di badan jalan, kelancaran kendaraan bermotor, dan moda transportasi yang canggih.

Kabar baik dari Solo diutarakan oleh Hari, dalam waktu dekat Solo akan mendapatkan bantuan pendanaan berupa Public Service Obligation (PSO) dengan skema beli layanan per kilometer (buy the service) dari provinsi maupun pemerintah pusat, sebagaimana Jakarta, Semarang, maupun Yogyakarta. Bantuan ini diharapkan mampu menyambung dan meningkatkan layanan angkutan umum Solo di masa mendatang.