
Jika sebuah kota diumpamakan seperti tubuh manusia maka jaringan jalan merupakan sistem peredaran darah yang memastikan tubuh manusia bekerja sebagaimana mestinya. Seandainya sistem peredaran darah terhambat maka tubuh menjadi sakit. Sama halnya dengan sistem transportasi pada sebuah kota. Selayaknya sebuah kota memiliki sebuah transportasi publik yang secara optimal mendukung mobilitas dan aksesibilitas warga. Jika jaringan jalan perkotaan terhambat alias macet maka dapat disimpulkan bahwa kota juga sedang sakit.
Beberapa hari lalu, Walikota Surabaya justru membiarkan keterhambatan jaringan jalan terjadi dengan acuh tak acuh mempersilahkan warga menggunakan mobil tanpa mengindahkan dampak terhadap kemacetan. Dampak terhadap banyaknya kendaraan di jalanan perkotaan tidak bisa dipandang sempit dari satu sisi saja. Polusi udara, stress, lelah, konsumsi BBM yang tinggi, waktu dan biaya yang terbuang, dan menurunnya kesehatan harus dilihat sebagai penyakit-penyakit perkotaan yang disebabkan oleh kemacetan.
Lantas, Bagaimana perbaikan sistem transportasi publik yang bagus untuk sebuah kota? Apakah Surabaya sudah memiliki transportasi yang baik? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Transport for Surabaya, SubCyclist, dan Kopdar Surabaya bulan lalu, 17 Desember 2019, mengadakan diskusi mini bertajuk REPORTASI (Rembug transPORTASI) Kota Surabaya.
Diskusi berjalan menyenangkan diikuti oleh peserta diskusi yang berasal dari beragam latar belakang profesi dan komunitas mulai dari dokter, peneliti, mahasiswa, karyawan swasta, penggiat IT, aparatur sipil negara, event organizer, dosen, komunitas Indonesia Railway World & Beyond, Bismania, Bonek, dan para peserta diskusi dari beragam profesi juga komunitas digital maupun komunitas non digital. Para peserta diskusi memiliki kepedulian yang sama dan berkenan untuk sambat, curhat, dan berbagi pemikiran tentang bagaimana kita bisa mencapai satu titik ke titik lain di Surabaya dengan lebih efisien. Selain itu, peserta juga hadir tidak hanya dari Surabaya akan tetapi beragam kota-kabupaten di sekitar Surabaya serperti Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik yang berbatasan langsung dengan kota pahlawan.
Banyak fakta menarik dalam diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam tersebut. Peserta mengemukakan pendapatnya mengenai Suroboyo Bus, bemo (alias lyn atau angkutan kota (angkot)), kereta api sebagai moda transportasi utama di Surabaya. Surabaya bus telah diteliti oleh 2 orang peserta (masing-masing peserta melakukan penelitian dengan metode dan waktu yang berbeda) tentang kepuasan pengguna Suroboyo Bus. Hasil penelitian keduanya menunjukkan tingkat kepuasan yang cukup tinggi. Salah satu penelitian menunjukkan 93% pengguna puas dengan Suroboyo Bus. Fakta menariknya adalah kebanyakan pengguna masih menganggap Suroboyo Bus adalah bus pariwisata ketimbang sebagai bus umum. Layanan transportasi umum lain yaitu bemo a.k.a lyn dinilai cukup buruk dimulai dari perilaku pengemudi, tarif yang tidak pasti, armada yang tidak terawat, dan kepastian pelayanan yang kurang meskipun lyn ini memiliki potensi yang bagus. Pelayanan Kereta Api pun cenderung menurun bahkan ketika potensi kegiatan komuter sangat besar.
Fakta menarik lain justru datang dari kisah pelayanan transportasi publik dari kota-kabupaten sekitar. Mojokerto memiliki sebuah angkutan massal gratis untuk anak sekolah yang melayani 9 rute dengan 19 armada lengkap dengan fasilitas colokan listrik dan televisi. Angkutan massal gratis Mojokerto tersebut diberi nama Angkutan Sekolah Gratis (ASG). Gambaran tersebut mengundang pertanyaan besar mengenai rencana Pemerintah Kota Surabaya mengelola transportasi publik. Beragam wacana dari pemerintah kota di media massa seperti LRT, Trem, Monorail belum satupun yang terwujud atau dimulai pekerjaan konstruksinya. Peserta pernah mendengar bahwa Kota Surabaya memiliki rancangan beragam kegiatan peningkatan transportasi publik. Sayangnya, warga merasa tidak ada akses informasi terbaru karena cukup rumit untuk mengakses informasi selain itu informasinya terburu kadaluwarsa jikalau informasinya didapatkan.
Warga Gresik yang hadir dalam diskusi pun mengeluhkan tidak adanya jaringan transportasi publik yang terintegrasi secara efisien dengan Kota Surabaya. Hal ini berdampak pada sulitnya mobilitas warga yang tinggal di Gresik dan bekerja di Surabaya karena saat ini warga Gresik harus melewati jalur yang berbahaya karena kondisi jalan sempit dan bercampur dengan kendaraan berat seperti truk.
Para peserta diskusi pun mengutarakan pelbagai gagasan-gagasan berdasarkan angan-angan maupun pengalaman bertransportasi publik baik itu di Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Semarang bahkan referensi dari luar negeri seperti Singapura, Manila, dan Perth. Peserta mengungkapkan potensi bemo a.k.a lyn membutuhkan optimasi pelayanan dan secara bertahap berpotensi menjadi solusi transportasi publik. Revolusi besar-besaran bisa dilakukan dengan pergantian armada dari mobil umum sebagai angkutan ke bus ukuran medium. Salah satu ide selain perombakan pelayanan bemo adalah pengadaan kembali pelayanan untuk komuter Kereta Api (KA) lokal beserta penambahan frekuensi perjalanannya. Peserta lain mengusulkan pembentukan sebuah otorita pengelola seluruh sistem dan moda transportasi publik yang ada di Surabaya dan sekitarnya. Para peserta bersepakat bahwa pihak pemerintah kota tidak perlu merancang sistem transportasi dengan teknologi dan biaya tinggi. Lebih baik realistis dengan membenahi, mengelola, dan meningkatkan pelayanan angkutan umum yang ada dan menyesuaikannya dengan tata kota Surabaya bukan malah memaksakan satu ide yang bisa jadi malah dapat berdampak buruk seperti tol dalam kota yang ramai dibicarakan bahkan sudah muncul PERPRESnya.
Pada akhir diskusi masih menjadi pertanyaan besar, bagaimana sebenarnya pemenuhan hak warga kota Surabaya atas aksesibilitas dan mobilitas yang aman dan nyaman bagi semua?
Perbaikan kondisi yang lebih baik dapat dimulai jika pihak pemerintah kota dan dinas terkait mau duduk bersama dengan warga untuk berbagi ide dan pandangan, mengevaluasi dan melakukan perubahan rancangan jika dibutuhkan. Warga adalah pengguna sehari-hari sistem transportasi yang tersedia dan mengenal lebih dekat potensi yang tepat. Bahkan warga pengguna transportasi perkotaan ini sangat hafal dimana lokasi lubang di jalan, lokasi trotoar yang pavingnya lepas, hingga lokasi jalur sepeda yang dilanggar untuk parkir kendaraan pribadi. Informasi – informasi kewargaan ini tentu akan sangat berguna untuk menjadi masukan pemerintah dalam membangun layanan transportasi Kota Surabaya menjadi kota yang lebih baik. Dalam REPORTASI selanjutnya semoga ada perwakilan dinas terkait yang berkenan hadir untuk terlibat, mendengar dan berbagi pandangan.
Tabik.
Inanta Indra P.
Sebuah reportase dari kegiatan diskusi REPORTASI (Rembug Transportasi) di Surabaya (17 Desember 2019) oleh Inanta Indra P.