Kita dan milyaran penduduk bumi lainnya masih berada pada satu situasi yang sama: pandemi covid-19 yang sudah memporakporandakan berbagai sektor kehidupan manusia. Kota-kota menjadi sepi, tempat-tempat yang tak henti dikunjungi pun menjadi tak berisi, situs-situs keagamaan, stadion olahraga, kampus-kampus, sekolah, maupun perkantoran sepi dari manusia, yang biasa berkegiatan di dalamnya.

Kehidupan kita melambat bahkan cenderung terhambat, orang-orang diimbau untuk tetap berada di rumah agar penyebaran virus dapat ditekan seminimal mungkin. Namun, sayangnya, situasi tidak seideal yang kita bayangkan, khususnya di Indonesia.

Situasi belum membaik kendati pemerintah mencoba melaju menangani mewabah setelah sebelumnya cenderung mengentengkan (kita bisa baca pernyataan presiden dan menteri kesehatan pada masa awal ancaman wabah masuk Indonesia). Kita berada dalam situasi yang bisa dibilang absurd. Bergerak enggan, tetapi diam pun tak mau.

Tidak ada kota yang benar-benar sepi. Kita masih dengan mudah menemukan perusahaan yang beroperasi normal dan tidak membuat pekerjanya bekerja dari rumah; kita juga masih bisa menemukan warung kopi-warung kopi dengan pengunjung yang bergerombol di dalamnya.

Kebijakan Transportasi

Jalanan selama pandemi memang cenderung lebih sepi, tetapi masalah yang sebenarnya terletak di sini. Pada masa-masa ini, Kementerian Perhubungan seolah berada dalam status membeku. Tidak banyak kebijakan terkait transportasi yang dikeluarkan, seperti kebijakan mobilitas maupun pengelolaan aksesibilitas warga.

Alih-alih lekas membuat kebijakan formal, pemerintah hanya mengeluarkan kampanye untuk “Tidak atau Jangan Mudik” bagi warga di media sosial. Kampanye tersebut dilakukan termasuk dengan membayar pendengung (buzzer) atau sekumpulan orang yang disebut Transmate.

Kampanyenya cukup masif di media sosial, tetapi, sayangnya, tidak bisa menghentikan warga untuk mudik atau bermobilitas antarkota, baik di dalam maupun antarprovinsi. Pergerakan warga untuk mudik tidak bisa dihalangi imbauan karena tingginya keinginan untuk mudik didorong oleh faktor tekanan ekonomi. Selain itu, kebijakan ini diperburuk dengan kisruh komunikasi yang muncul dari istilah mudik dan pulang kampung.

Di DKI Jakarta, berita tentang antrian panjang di stasiun-stasiun kereta ataupun halte-halte bus pada masa awal merebaknya corona membuktikan ketidakjelasan strategi yang digunakan, meski di kemudian hari ada perbaikan. Situasi ini membuat mobilitas warga, yang selama ini mengandalkan transportasi publik, menjadi terhambat.

Penumpang berisiko terpapar Covid-19 cukup tinggi jika harus berdesakan dan jumlah penumpang yang enggan naik angkot, bus, atau kereta meningkat. Sementara itu, pengguna jasa transportasi daring, khususnya roda dua, juga terhambat akibat larangan mengangkut penumpang, seperti yang telah terjadi di DKI Jakarta. Ketidakjelasan ini menimbulkan situasi yang tidak nyaman bagi siapapun.

Kebijakan formal baru diterbitkan bulan April dalam Peraturan Menteri no. 18 tahun 2020. Peraturan ini salah satunya mempertegas imbauan untuk untuk “Tidak atau Jangan Mudik” bagi warga. Sayangnya, kebijakan ini kembali tidak optimal karena Kementerian Perhubungan justru mengaktivasi kembali moda-moda transportasi umum dengan catatan-catatan yang memberi kesempatan untuk warga bepergian.

Kemarin bandara kembali ramai orang-orang yang mengantre untuk bepergian. Langkah pembukaan transportasi terus dilakukan kendati beberapa pemeriksaan secara acak di MRT maupun KRL menemukan penumpang yang terpapar covid-19. Upaya-upaya ketat seperti pemeriksaan termal dan jaga jarak fisik masih belum mampu menekan penularan di angkutan umum.

Dinas-dinas Perhubungan daerah pun seakan ikut menumpul seperti yang terjadi pada tingkat kepalanya. Tidak ada kebijakan progresif untuk mendukung himbauan #DiRumahAja, bahkan di kota yang telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di beberapa kota, beberapa angkutan kota mulai ambruk secara ekonomi karena sangat minimnya jumlah penumpang. Rilis Kementrian Perhubungan menunjukkan penurunan pengguna transportasi umum sebesar 40-70 persen.

Penutupan jalan menjadi salah satu kebijakan yang paling banyak dilakukan oleh beberapa kota, seperti Surabaya yang sempat menutup Jl. Raya Darmo dan Jl. Tunjungan lalu sekarang berganti ke Jl. Pandegiling. Kebijakan ini bagus jika memang ada aturan yang mewajibkan pemilik usaha untuk menutup bisnisnya atau melakukan pengaturan agar pekerjanya bisa bekerja dari rumah saja.

Sayangnya, kebijakan yang ada sampai saat ini hanyalah himbauan serta ada razia di lokasi-lokasi berkumpulnya manusia, seperti warkop dan kafe yang masih buka. Akibatnya, kepadatan berpindah. Orang dan kendaraan saling berdempetan di jalanan, terutama saat menunggu pergantian warna lampu dari merah ke hijau di persimpangan yang berlampu lalu lintas. Bukankah hal ini justru malah meningkatkan resiko penyebaran corona? Semoga kebijakan ini segera dievaluasi.

Usulan Opsi

Sejauh ini, warga telah mengikuti apa yang dilakukan pemerintah. Mereka menutup total jalan akses ke area kampung atau perumahan mereka. Cara ini baik jika memang pemerintah mengeluarkan maklumat agar seluruh warga berada di rumah saja dan melarang mobilitas secara total. Namun, yang terjadi saat ini adalah PSBB. Pemerintah tidak melarang warga untuk bermobilitas.

Ada baiknya pemerintah mengeluarkan aksi yang progresif untuk memastikan keselamatan warga yang memang sangat butuh bermobilitas untuk kehidupannya, dengan syarat mengikuti protokol kesehatan dan keselamatan bersama. Banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan pemerintah dalam situasi seperti ini untuk mengelola transportasi, mobilitas dan aksesibilitas warga, bahkan tanpa perlu mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk melakukannya.

Beberapa negara dan kota di dunia telah mewujudkan hal tersebut. Pemerintah Selandia Baru, misalnya mengeluarkan kebijakan progresif yang mendorong pemerintah kota untuk menambah jalur-jalur sepeda dengan mempersempit ruang bagi kendaraan bermotol terutama mobil. Ruang bagi pesepeda menjadi lebih lebar di jalan sehingga orang dapat bermobilitas dengan tetap menjaga jarak aman, baik dengan berjalan kaki atau bersepeda.

Kota Bogota di Kolombia menambah jalur sepeda sepanjang 117 km untuk alasan yang sama. Di California Amerika Serikat, pemerintah kota memasukkan toko, bengkel dan rental sepeda ke dalam kategori “bisnis esensial” yang mendapat keistimewaan untuk tetap buka dan melayani pelanggan karena, bagi mereka, bersepeda adalah cara bermobilitas paling aman untuk saat ini.

Kota-kota di Prancis, seperti Rennes, Montpeiller, Paris, dan Grenoble juga akan melakukan penambahan serta aktivasi jalur sepeda. London di Inggris yang juga menjadi episentrum penyebaran corona juga membuka dan menambah jalur sepeda bagi warganya. Upaya ini menimbulkan reaksi positif dari beberapa organisasi serta komunitas yang aktif mengkampanyekan sepeda, bahkan sampai tercipta sebuah peta khusus untuk yang menunjukkan jalur aman dan tercepat bersepeda bagi para pekerja sektor kunci untuk menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Peta itu juga dilengkapi lokasi toko dan bengkel sepeda serta lokasi persewaan sepeda (bike-sharing) yang bisa diakses.

Satu hal penting yang menjadi kunci strategi tersebut adalah pemanfaatan atas “Urbanisme Taktis (Tactical Urbanism)”. Urbanisme berbiaya murah, dapat diaplikasikan di lingkungan yang sudah terbentuk khususnya di perkotaan, bersifat temporer, dan digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup warga di sebuah kawasan. Urbanisme taktis di transportasi sepeda dapat diwujudkan dengan membuat jalur sepeda temporer.

Perlu diketahui jika beberapa jalur sepeda yang digunakan oleh berbagai kota yang sudah disebutkan bersifat temporer. Walau demikian, jalur-jalur tersebut dilengkapi dengan desain-desain yang sangat membantu pesepeda untuk melakukan jaga jarak fisik (physical distancing) sehingga jarak aman mereka selalu terjaga meski mobilitas sepeda cukup tinggi.

Selandia Baru bahkan membiayai penuh proyek “lajur sepeda pop-up” untuk membantu warga mereka bermobilitas. Salah satu urbanisme taktis paling terkenal di dunia barangkali adalah pemasangan 376 kursi santai di kawasan Times Square di New York, yang akhirnya membuat kawasan dengan lalu lintas terpadat tersebut diubah menjadi kawasan pejalan kaki permanen. Harga 1 kursi hanya US$15 atau 0,001 persen dari total nilai proyek untuk membuat kawasan tersebut bebas lalu lintas kendaraan.

Indonesia mungkin membutuhkan perubahan-perubahan seperti ini agar tak terus terjebak dalam situasi tak menentu. Dengan jasa transportasi umum yang saat ini bisa dikatakan lumpuh dan kendaraan bermotor dipersulit aksesnya, pemerintah perlu mulai memberi ruang lebih untuk pejalan kaki serta pesepeda.

Warga pun dapat bertindak lebih cerdas dengan mungkin memperbolehkan akses dengan sepeda dan berjalan kaki untuk melalui area jalanan kampungnya. Meski sepeda memang lebih lambat dari kendaraan bermotor (di kota yang tidak macet), cara ini dapat mendorong ekonomi tetap terus bergerak.

Upaya ini pun perlu dipertimbangkan setelah corona berlalu karena banyak hal yang akan berubah dan sektor transportasi juga mengalami hal yang sama. Kebijakan-kebijakan di masa mendatang sangat perlu mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup sebagai salah satu faktor terpenting. Kita sudah merasakan bersama bagaimana langit menjadi lebih biru dari biasanya, udara pun menjadi lebih dingin, bahkan orang di Jakarta bisa melihat Gunung Salak lagi dari kejauhan.

Ini mungkin bagian dari cara alam menyelamatkan manusia dari resiko perubahan iklim, kendati mungkin wabah corona tidak ada kaitannya langsung. Walau situasi masa kini terhitung sangat berat bagi kita semua, wabah ini barangkali intervensi semesta yang kita butuhkan untuk membuat hidup kita menjadi lebih baik.

Tabik.

Opini ini ditulis oleh Inanta Indra P.

One thought on “Wajah Transportasi Kita Masa Pandemi Corona

Leave a Reply to cuham Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *