
Daffa Foros Oktoviarto menyilangkan sepedanya tegak lurus demi menghadang pesepeda motor yang melaju di jalur pejalan kaki. Daffa, bocah semarang itu, dengan berani menendang pesepeda motor untuk kembali ke jalurnya. Upaya serupa juga dilakukan oleh Alfini Lestari di Jakarta; thejakartapost 04 mei 2016. Afini, tiap harinya, berani beradu mulut sembari menghadang pesepeda motor yang melintas di jalur pejalan kaki.
Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat menggunakan jalan sesuai kegunaannya sudah sejak lama dilakukan melalui pelbagai kampanye. Namun apalah daya, jumlah kendaraan yang terus meningkat dan keegoisan dari pengendara kendaraan pribadi (baca:motor dan mobil) menyebabkan masyarakat abai terhadap pesan-pesan kampanye tersebut. Keinginan untuk menguasai semua lini fasilitas jalan menjadi kebutuhan utama sedangkan keselamatan dan hak pengguna jalan lain menjadi hal sekunder setelahnya.
Besarnya keinginan untuk menjadi penguasa fasilitas jalan membuat pengendara kendaraan pribadi menjadi arogan. Kata umpatan, “Emang e ini jalan e Mbahmu!!!” kerap digunakan oleh para ‘penguasa jalanan’ tersebut. Alfini pun terkena umpatan khas tersebut ketika berupaya mempertahankan haknya berjalan di fasilitas pejalan kaki.
Penguasaan atas nama jalan tidak hanya terjadi dalam rivalitas pejalan kaki dan pesepeda dengan pengendara kendaraan pribadi saja tetapi juga terjadi saling saing di antara pengendara kendaraan pribadi untuk merebutkan hak kuasa atas jalan. Konvoi kendaraan bermotor yang berjalan secara eksklusif dan melanggar atribut lalu lintas; Pengawalan voorrijder oleh kalangan ‘atas’; angkutan barang yang membawa muatan berlebih; angkutan umum yang mengebut dan mendominasi jalur lalu lintas; penggunaan kendaraan oleh anak di bawah umur; merupakan sekelumit dari ratusan contoh upaya saling rebut kekuasaan atas jalan di antara pengendara kendaraan pribadi.
Sejatinya, fasilitas jalan merupakan barang publik. Namun sayangnya, logika kepemilikan barang publik ini hilang ketika pengendara kendaraan pribadi sudah berada dalam kemudi. Saat berada di balik kemudi (ruang privat), pengendara hanya memandang jalan sebagai obyek mati belaka tanpa mengingat bahwa jalan merupakan fasilitas publik yang tidak dapat digunakan semena-mena.
Pengembalian Hierarki Pengguna Jalan
Berdasarkan perbedaan sudut pandang atas kepemilikan jalan di atas maka upaya penguasaan jalan dapat dibagi menjadi dua hal yaitu kuasa atas fasilitas jalan dan kuasa atas kemudi di jalanan.
Sebelum Indonesia Merdeka, fasilitas jalan dikuasai oleh kaum Eropa. Justru ribuan kaum pribumi menjadi korban kerja rodi atas pembangunan fasilitas jalan Raya Pos Daendels, 1809. Selain itu, penggunaan moda transportasi di jalanan pada awal 1900-an juga menunjukkan perbedaan antara kelas elit dan rakyat jelata. Marco Kartodikromo dalam majalah Doenia Bergerak:1914 menulis; “Mobil di zaman kita adalah kendaraan yang paling disayangi oleh para petinggi dan kaum kapitalis…Sekarang ini, tentu saja, apa yang dianggap paling kuasa, dan ke arah mana semua kekuatan dan semua waktu dihabiskan, adalah perbaikan jalan. Jalan-jalan besar menjadi lebih baik, lebih indah, lebih lurus, dan lebih licin setiap harinya” (Engineers of happy land:25-44).
Selepas Indonesia Merdeka hingga kini, jalan-jalan dikuasai sepenuhnya oleh publik dan perawatan atas jalan berada di tangan pemerintah sebagai penyedia barang publik. Namun penguasaan atas jalan kini telah bergeser di balik kemudi. Pengemudi atau sopir menjadi aktor utama dalam penguasaan jalan.
Di awal 1900-an, Sopir masih merupakan sebuah profesi bagus terlihat dari Gaji yang tinggi. Orang Belanda, Cina, dan Indonesia semuanya suka menjadi sopir…Namun lambat laun…hanya kami, bangsa Indonesia yang bertahan menjadi sopir. Kami, begitu tampaknya sekarang, memegang monopoli (Engineers of happy land:54). Bahkan pada tahun 1970 an, wartawan kompas sempat mencatat kisah sopir di Jakarta yang mogok melayani pelanggan karena seluruh sopir di Jakarta pergi hanya untuk menonton bola (Kompas,23 Maret 2016). Kemudian dengan kemajuan produksi kendaraan pribadi dan kemudahan mengaksesnya mengangkat setiap masyarakat sebagai sopir untuk dirinya masing-masing.
Wajar saja jika kemudian masyarakat menempatkan kendaraan pribadi menjadi tingkat teratas dalam hirarki pengguna jalan. Hal ini tercermin pula dalam UU no 22 tahun 2009, pasal 134 yang bertuliskan, “Pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai…urutan…:a….Pemadam Kebakaran…;b.ambulans…;c.kendaraan…pertolonganlaka;d.Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing…tamu negara;f…pengantar jenazah;g.Konvoi…untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas kepolisian…” Sementara itu nasib pejalan kaki, pesepeda, dan angkutan umum menjadi elemen terpisah yang terpinggirkan dalam regulasi lalu lintas dan angkutan jalan.
Hal ini tentunya berlawanan dengan prinsip transportasi berkelanjutan yang mengedepankan udara bersih, minimnya kecelakaan, dan rendahnya tingkat kemacetan. Dalam prinsip transportasi berkelanjutan hirarki pengguna jalan justru mendahulukan pejalan kaki, pesepeda, dan angkutan umum baru kemudian kendaraan darurat seperti pemadam kebakaran;ambulans;dan lainnya, lantas kendaraan pribadi menempati prioritas terakhir.
Jika prinsip ini dapat ditanamkan dalam tiap diri pengemudi, tentunya egoisme dan kesewenang-wenangan pengemudi diharapkan dapat berkurang. Sehingga Daffa, Alfini, dan jutaan pejalan kaki maupun pesepeda lainnya dapat menikmati fasilitas jalan dengan hak yang sama. Ah, semoga ini tidak menjadi andai-andai belaka mengingat liburan panjang kemarin berjubel kendaraan berebut kuasa atas jalan. Hanya sekedar perenungan, Jangan-jangan anda salah satunya? Semoga tidak.
Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Umum SOLOPOS pada bulan Mei tahun 2016