“Sekarang anak2 sekolah ‘malu’ naik sepeda. Maunja minimal naik Handa, Zusuki atau sedjenis itu. Apalagi bapak2nja, sudah seperti keong sadja. Kemanapun naik mobil, sebab mobil adalah ukuran martabat intelektuil Indonesia, elite Indonesia” (Maharjo-1971 dikutip dari buku Melihat Indonesia dari Sepeda: 2010).

Kutipan 45 tahun silam dari Maharjo masih terasa relevan hingga kini. Kini pelajar setingkat sekolah menengah pertama sibuk membayangkan jenis motor apa yang akan ia minta kepada orang tuanya. Tak sedikit jua orang tua telah mengijinkan pelajar di bawah umur menggunakan kendaraan bermotor.

Lingkungan di sekitar lokasi sekolah pun mendukung pelanggaran tersebut sembari menyediakan area parkir sepeda motor walalupun kebijakan sekolah secara tegas melarang. Oleh karena itu lazim kini kita temui pelajar setingkat sekolah menengah atas melenggang di jalanan dengan menggunakan motor mewah.

Euforia dalam penggunaan kendaraan bermotor di Indonesia seakan tiada habisnya. Meskipun diskursus mengenai penggunaan angkutan umum, berjalan kaki, dan bersepeda sebagai upaya mewujudkan transportasi yang memanusiakan manusia sudah muncul di publik namun kendaraan bermotor tetap menjadi idola.

Membudayakan Bersepeda, Mampukah?

Dua pekan silam (11/12/2016) dalam acara Sosialisasi Keselamatan Jalan Walikota menyatakan pada awal 2017 akan melakukan penertiban dan pelarangan bagi pelajar di bawah umur menggunakan kendaraan bermotor. Pernyataan tersebut merujuk pada  surat pengumuman larangan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang belum memiliki surat izin mengemudi yang dikeluarkan Walikota tahun 2013 silam dan didukung dengan keputusan Walikota no 620/76-8/1/2013 tentang Pelopor Aksi Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Surakarta.

Meskipun begitu dampak dari komitmen itu belum begitu terasa. Kita masih menemui banyak pelanggaran penggunaan kendaraan bermotor oleh pelajar di bawah umur. Para pelanggar tersebut kadang terlihat tidak menggunakan atribut keselamatan seperti helm, mengabaikan peraturan lalu lintas, dan mengebut di jalanan.

Adapun sebagian pelajar lainnya justru beralih menggunakan sepeda. Peningkatan jumlah pesepeda di kalangan pelajar juga dirasakan oleh teman-teman pesepeda.

Sepeda merupakan pilihan moda transportasi yang tepat karena dapat menjangkau jaringan jalan lebih luas dibandingkan dengan angkutan umum yang terbatas pada rute. Setidaknya sepeda dapat digunakan oleh pelajar yang bertempat tinggal tak jauh dari lokasi sekolah. Sepeda  dapat mencakup perjalanan sejauh 10-15 km dimana rata-rata perjalanan harian masyarakat Kota Surakarta berkisar 20 km per hari sehingga memungkinkan bagi kalangan pelajar menggowes sepedanya ke sekolah.

Geliat aktif anjuran bersepeda oleh pelbagai komunitas pesepeda dan pemerintah Kota Solo melalui pelbagai kegiatan kampanye juga salah satu faktor peningkatan jumlah pesepeda di Kota Solo.

Tentu beragam upaya tersebut belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran penggunaan kendaraan pribadi oleh pelajar di bawah umur. Banyak hal yang harus dilakukan oleh pemerintah terutama merubah pandangan masyarakat terhadap sepeda.

Beberapa pelajar mengaku ingin bersepeda ke sekolah namun dilarang oleh orang tuanya. Kebanyakan orang tua cenderung memandang sepeda adalah moda transportasi yang riskan menjadi obyek kecelakaan lalu lintas. Tak dapat dipungkiri, dalam rentang Januari hingga Agustus 2016, Kasatlantas Polresta Solo melaporkan sudah terjadi 28 kasus kecelakaan yang melibatkan sepeda onthel di Kota Solo bahkan satu diantaranya meninggal dunia (solopos.com, 15/9/2016).

Sementara itu pada bulan Desember ini tercatat dua siswi bersepeda (Nadia dan Tina Agustin) meninggal ketika akan menyebrang jalan di Kebakramat, Karanganyar. Nasib nahas tersebut juga dialami oleh siswi di Boyolali (Trias Pramutika) pada bulan Oktober silam. Begitu pula dengan kasus meninggalnya remaja putri (Khafifah Azatiro) setahun lalu (Oktober 2015) karena terserempet oleh kendaraan bermotor di Sukoharjo.

Keselamatan Lalu Lintas Tanggung Jawab Bersama

Buruknya tingkat keselamatan bersepeda membuktikan rendahnya pandangan masyarakat akan moda sepeda.  Sepeda dan pejalan kaki kerap terabaikan karena tidak dianggap sebagai bagian dari pengguna jalan. Pengemudi kendaraan bermotor merasa memiliki hak eksklusif dalam menggunakan jalan terutama ketika memacu kecepatan sehingga lalai terhadap hak pengguna jalan lain seperti pesepeda dan pejalan kaki.

Kualitas infrastruktur yang kurang memadai juga memaksa pesepeda untuk berebut hak guna jalan. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik antara kendaraan bermotor dengan pesepeda. Padahal Kota Solo memiliki jalur lambat sepanjang ±25 km yang tersedia di Jl. Ir. Sutami, Jl. Kol. Sutarto, Jl. Urip Sumoharjo, Jl. M.T. Haryono, Jl. Adi Sucipto, Jl. Slamet Riyadi, dan Jl. Dr. Rajiman. Jalur lambat dapat dimanfaatkan sebagai jalur khusus pesepeda.

Jalur lambat di Kota Solo mungkin merupakan jalur lambat terpanjang yang masih tersisa di pulau Jawa hanya tinggal fasilitas jalur lambat di Jl. Slamet Riyadi (penggalan purwosari hingga gladag) dan Jl.Urip Sumoharjo saja yang berkualitas . Sementara kualitas jalur lambat di jalan lain tak laik untuk dilewati oleh pesepeda.

Pemerintah Kota Solo pun mengalami keterbatasan dalam mengupayakan perbaikan di beberapa lokasi jalur lambat mengingat status jalan tersebut berada dalam wewenang jalan provinsi dan nasional.

Bersepeda ke sekolah kian riskan mengingat minimnya pemahaman pelajar mengenai keselamatan bersepeda. Pelajar juga mengalami keterbatasan dalam melengkapi atribut keselamatan bersepeda semisal penggunaan helm dan pemasangan bel juga lampu penerang. Pelajar membutuhkan dukungan dalam melengkapi atribut tersebut. Materi sosialisasi terkait keselamatan berkendara juga perlu disebarluaskan pada tiap sekolah.

Keselamatan bersepeda dan berjalan kaki membutuhkan kerjasama dari masyarakat, orang tua pelajar, komunitas, pihak sekolah, dan tentunya pemerintah Kota Solo, provinsi, hingga pemerintah nasional.

Perjuangan dalam mewujudkan pelajar bersepeda merupakan program jangka panjang yang butuh diawasi bersama. Sejarah bersepeda sendiri merupakan sejarah panjang memperjuangkan keselamatan jalan. Kota Amsterdam sebagai salah satu kota ramah bersepeda  justru memulai perjuangannya sejak tahun 1970-an. Warga Amsterdam menuntut pemerintah menyediakan fasilitas yang laik buat pesepeda sebagai upaya menurunkan tingkat kecelakaan.

Kota Surakarta harus berani memulai perjuangan tersebut sebelum timbul kembali korban. Meskipun secara ironis dalam film dokumenter bike vs cars: 2015, Rob Ford, Walikota Toronto yang antipati dengan pesepeda menyatakan, “…nyata…ada permusuhan yang besar antara pengendara kendaraan bermotor dan pesepeda. Sebuah permusuhan yang tidak akan pernah berakhir”.

 

Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Umum SOLOPOS pada bulan Desember tahun 2016

Titis Efrindu Bawono, Pengamat Transportasi Kota Solo yang berusaha rutin bersepeda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *