
Saat kita membicarakan tentang transportasi dan mobilitas di kota – kota yang ada di Indonesia maka sejatinya kita sedang membicarakan sebuah gagasan yang sama, mirip dan tidak ada bedanya satu sama lainnya. Angkot, bemo, len, becak, bentor, ojek, bis kota, kopaja, transjakarta, komuter, KRD, KRL, MRT, sama saja kan? Tidak ada yang benar-benar baru, tidak ada yang istimewa.
Kini, Jakarta memiliki moda baru: MRT. Selamat! Warga Jakarta memiliki satu lagi opsi transportasi publik yang bisa dipilih untuk bermobilitas setiap hari. Sebelumnya Jakarta sudah memiliki Commuter Line dan Transjakarta, itupun masih ditambah adanya ojek online dan pangkalan yang masih bertebaran di penjuru kota.
Masalahnya, apa benar MRT akan mampu membuat mereka yang terbiasa berkendaraan pribadi beralih? Atau justru akan banyak digunakan oleh mereka yang memang sudah terbiasa menggunakan kendaraan umum? Harus ada survei sejak hari pertama untuk melihat pertumbuhan penggunannya untuk kemudian digunakan sebagai tolak ukur keberhasilannya. Suatu moda hadir dan ada dengan capaian keberhasilan itu beda ruang dan waktu.
Penataan
Sistem transportasi dan mobilitas warga erat kaitannya dengan desain tata kota itu sendiri. Ada kota – kota yang dalam proses perkembangannya dibangun dengan meletakkan mobilitas manusia di kursi terdepan prioritas pembangunan, ada juga kota – kota yang dibangun dengan meletakkan kepentingan militer, politis ataupun kapitalis sebagai pilar utama kebijakan pembangunan.
Pada prosesnya banyak kota di dunia yang kini berevolusi, tanpa ragu mengubah apa yang sudah terpatri puluhan bahkan ratusan tahun untuk mengakomodir kebutuhan manusia. Kota – kota seperti New York, Barcelona, Kopenhagen, Oslo, dan menyusul London mengubah arah kebijakan pembangunannya menjadi citizen-sentris.
Mereka mempersempit jalan untuk mobil, memperlebar akses untuk pejalan kaki, mengatur ulang area bisnis dan pemukiman untuk memfasilitasi kebutuhan akan kota yang tangguh, yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusianya dan menjadi kota yang berkelanjutan. Konsep yang masih hanya jadi wacana di banyak kota di Indonesia.
Pada piramida transportasi, pejalan kaki ada di puncak tertinggi atau, dengan kata lain, harusnya mendapat porsi utama dalam proses perancangan sistem transportasi. Bagaimana keamanan dan kenyamanan mereka dalam melakukan perjalanan? Bagaimana mereka dapat mengakses kendaraan umum?
Hal-hal tersebut yang seharusnya jadi tiang pancang pembangunan sistem transportasi yang berkelanjutan. Kita, yang hidup di Indonesia, tidak bisa menghindari takdir hidup di negara tropis. Kondisi alam tropis bukan alasan untuk tidak berjalan kaki ataupun bersepeda .
Mendorong Peralihan
Kita butuh mendorong orang beralih moda. Penduduk Indonesia sangat mudah termakan iklan, kita dijejali iklan kendaraan bermotor yang semakin lama semakin murah, semakin cepat dan ironisnya semakin ramah lingkungan.
Kenapa tidak ada pemikiran dari pihak pemerintah untuk membuat iklan kontra yang menunjukkan dampak buruk kendaraan bermotor yang sebenarnya? Tidak mampu? Tidak ada? Atau tidak mau?
Kalau hal ini dilakukan maka mungkin kita tidak memerlukan Koalisi Pejalan Kaki untuk mengadvokasi hak-hak para pejalan, kita tidak memerlukan Bike 2 Work untuk mengadvokasi hak-hak pesepeda. Mereka akan hadir untuk menyemarakkan dan bukan untuk menjadi tameng pelindung bagi para pejalan kaki dan pesepeda, yang haknya dilanggar secara masif oleh para pengguna kendaraan bermotor.
Aplikasi pemesanan kendaraan online bukanlah solusi transportasi. Mereka adalah solusi ekonomi dan inovasi bisnis. Kok gitu? Bukannya keberadaan mereka mempermudah mobilitas warga? Jadi itu solusi transportasi dong harusnya.
Sayangnya tidak seperti itu. Ada sebuah efek yang tak disadari oleh banyak orang, yakni semenjak aplikasi seperti Grab dan Go-jek beredar belum ada pertanda penurunan pengguna kendaraan pribadi, malah yang ada semakin banyak motor/mobil baru berkeliaran di jalanan.
Untuk menjadi pengendara angkutan daring, baik itu mobil atau motor, ada persyaratan yang harus dipenuhi terkait kendaraan: ada kendaraan operasional. Hal ini tidak jarang “memaksa” para pendaftar untuk membeli kendaraan baru, entah itu secara tunai ataupun kredit.
Apa itu salah? Tidak, tidak ada yang salah dari orang yang ingin memenuhi kebutuhan ekonominya. Tapi ada baiknya para pencipta aplikasi tersebut mau jujur dan sadar diri, bahwa apa yang mereka bangun bukanlah solusi transportasi melainkan solusi ekonomi dan bisnis.
Kita membutuhkan pendekatan sosio-kultural untuk mengurai masalah-masalah itu. Hal ini termasuk dalam kewajiban pemerintah apabila ingin warganya beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum atau berjalan kaki atau bersepeda.
Pendekatan ini bisa dalam rangka riset untuk mengetahui penyebab keengganan menggunakan angkutan umum, berjalan kaki, bersepeda, atau cara yang bisa digunakan untuk mendorong perpindahan. Salah satu penyakit yang ada dalam pemerintah kita adalah keengganan untuk melakukan edukasi secara menyeluruh. Pokoknya trotoar sudah dibangun, fasilitas sudah disediakan, ya sudah.
Dimanapun kamu berada di Indonesia, hal-hal yang tertulis pada paragraf-paragraf di atas bisa dengan mudah kamu temukan dalam keseharianmu. Nggak percaya? Cobalah berjalan kaki, cobalah bersepeda, naiklah kendaraan umum, bahkan kalau perlu cobalah menjadi pengendara angkutan daring, jelajahi kotamu dan pahami setiap sudutnya. Tabik.
Tulisan yang menggugah. Pemerintah harus didorong perannya bukan sekadar penyedia pilihan moda transportasi, tetapi menjadi pengatur yg bersifat “memaksa” agar masyarakat beralih ke moda trnaportasi masal. Instrumen memaksa misalnya menaikan pajak mobil pribadi yg tinggi. Kalau pemerintah tidak bertindak selayaknya seperti “dirigen” paduan suara yg mengarahkan dan mengatur perilaku dan hanya mengharap partisipasi masyarakat, maka keinginan untuk memigrasikan pengguna mobil pribadi ke transportasi masal akan sulit. Sebagai contoh jalanan Belanda tahun 1980-an banyak mobil namun mulai tahun 2000-an kondisi terbalik jalanan menjadi lebih banyak penyepeda dan pejakalan kaki. Sebuah perubahan yg tidak datang dengan sendirinya tapi akibat campur tangan politik mobilitas perkotaan.