Hampir setiap kota di dunia, termasuk di Indonesia, pada abad ke-21 ini menghadapi permasalahan kemacetan lalu lintas. Kemacetan ditemui setiap pagi, siang, atau sore di persimpangan-persimpangan ataupun di perlintasan kereta api. Kemacetan seringkali dikutuk karena mengurangi efektivitas dan efisiensi kegiatan manusia: waktu tempuh bertambah, boros biaya kendaraan, dan menurunkan kualitas lingkungan hidup.

Salah satu kebijakan yang diambil untuk mengatasi permasalahan kemacetan yaitu pembangunan infrastruktur flyover atau overpass (selanjutnya disebut flyover) di lokasi-lokasi yang mengalami kemacetan. Pembangunan flyover ini menyediakan satu jalan khusus yang terpisah dari persimpangan (melayang) untuk mengakomodasi pergerakan lalu lintas menerus. Dengan demikian, pergerakan kendaraan menjadi lancar, tak perlu berhenti dan mengantri untuk menyeberangi persimpangan.

Rencananya, tahun ini, Kota Solo akan membangun flyover pertamanya di perlintasan rel kereta api di Manahan. Perlintasan ini  adalah salah satu simpul penting yang menghubungkan tengah kota menuju ke bagian utara dan barat kota serta luar kota. Pembangunan ini bertujuan untuk menghilangkan masalah kemacetan yang sering terjadi akibat ditutupnya perlintasan saat kereta api melintas serta mengantisipasi kemacetan yang mungkin lebih parah ketika kereta listrik Jogja-Solo dioperasikan dan jalur ganda bagian selatan beroperasi penuh.

Pada umumnya, kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi, seperti flyover, diterima begitu saja sebagai kebijakan yang ampuh mengatasi kemacetan, seolah-olah dengan lancarnya aliran lalu lintas kendaraan, permasalahan telah usai. Namun, apakah memang demikian?

Flyover

Studi terbaru, seperti yang dilakukan oleh Md. Abu Taleb dan Shamsuzzaman Majumder (2012), Sahjabin Kabir (2014), dan Narabodee Salatoom dan Pichai Taneerananon (2014), terkait pembangunan flyover di beberapa negara menunjukkan bahwa ada dampak negatif yang ditimbulkan dari pembangunan flyover tidak jauh berbeda. Dampaknya meliputi terdistribusinya kemacetan ke kawasan sekitarnya; berubahnya pola interaksi sosial di kawasan flyover dibangun; dampak ekonomi akibat bangunan-bangunan bisnis tertutupi oleh bangunan flyover; permasalahan lingkungan akibat meningkatnya polusi, kebisingan, getaran, dan berkurangnya cahaya; dan berkurangnya tingkat keamanan.

Temuan ini serupa dengan kritik Halprin terkait kebijakan pembangunan masif jalan layang di Amerika pada periode praperang tahun ’20-an hingga pascaperang tahun ’50-an. Ia menemukan bahwa pembangunan jalan layang menghalangi cahaya dan pertukaran udara; memperburuk kondisi kota dengan bayangan dan kebisingan; dan merusak estetika kota. Kendati telah terbit sekitar setengah abad lalu, kritik Halprin atas pembangunan jalan layang masih relevan hingga kini. Ia mengatakan,

“Elevated freeways have done even worse damage to the areas through which they pass. They have blocked out light and air; they have brought blight into the city through their great shadows on the ground and through the noise of their traffic. Worse still, the surfaces under them have been devoted to parking lots, automobile junkyards, cyclone fences, and rubbish. These elements more surely than the freeway itself have gone far to uglify the cities through which it passes.” (Lawrence Halprin, 1966)

(Terjemah bebasnya: jalan layang memberi dampak yang lebih buruk ke area yang dilintasinya. Mereka menghalangi cahaya dan udara, mereka membawa kerusakan ke kota dengan bayangan gelap di tanah dan melalui kebisingan lalu lintas. Semakin buruknya, permukaan di bawahnya digunakan untuk lokasi parkir, tempat kumuh, dan pembuangan sampah. Seluruh elemen tersebut dapat dikatakan memperburuk kota di mana ia melintas, ketimbang flyover itu sendiri.)

Temuan dan kritik itu adalah salah satu penanda yang perlu diperhatikan karena dampak pembangunan flyover di berbagai tempat di dunia menimbulkan gejala permasalahan yang sama. Kemacetan yang sesungguhnya merupakan permasalahan utama yang ingin diatasi tak juga dapat teratasi dan menyebar ke area lain. Selain itu, pembangunan yang bertujuan ingin mengatasi kemacetan ternyata menimbulkan permasalahan sosial-ekologis yang tak kalah peliknya, yang seringkali terabaikan karena terlalu terfokus menyelesaikan permasalahan teknis lalu lintas.

Adanya dampak dan resiko dari pembangunan flyover bagi kota, pada tahun-tahun belakangan ini ada upaya untuk membuat kebijakan transportasi yang lebih berkelanjutan. Kebijakan ini berfokus penyediaan angkutan umum, ketimbang penyediaan suplai jalan. Selain itu, ada tren dari negara besar di dunia untuk membongkar flyover sebagai suatu langkah untuk merevitalisasi kotanya.

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang saat ini telah membongkar bangunan flyovernya. Joon-Ho Ko (2015) mencatat ada 18 flyover yang dibongkar di Korea Selatan dari periode 1994 sampai 2014. Ada beberapa alasan yang menyebabkan flyover-flyover ini dibongkar. Pertama, berkurangnya penggunaan kendaraan akibat perubahan kebijakan yang berfokus pada angkutan umum dan pembatasan penggunaan kendaraan di jalan yang pada akhirnya menyebabkan flyover sepi, termasuk pada saat jam-jam komuter bergerak, dan menimbulkan banyak kejadian kecelakaan akibat kecepatan terlalu tinggi. Kedua, mengganggu pengembangan infrastruktur angkutan umum. Ketiga, peningkatan dan perbaikan kondisi arus lalu lintas. Keempat, pembangunan flyover menyebabkan pengisolasian kawasan. Kelima, bangunan flyover banyak yang mengalami penurunan kondisi karena berumur tua. Dan yang terakhir, perbaikan estetika kota.

Cheonggyecheon, salah satu kasus pembongkaran flyover yang terkenal di Korea Selatan, tak hanya sukses memperbaiki kondisi lingkungan sekitarnya melainkan juga mampu menarik wisatawan dan menjadi destinasi wisata baru. Dalam tulisannya yang berjudul Removal of Overpasses in Seoul to Improve the Cityscape and Transportation Environment, Joon-Ho Ko menemukan bahwa pembongkaran flyover tidak memberi dampak kemacetan separah yang dibayangkan, malahan dengan pembongkaran ini pemandangan kota menjadi lebih baik.

Kebijakan

Dengan adanya dampak dan resiko yang kompleks, kebijakan pembangunan flyover perlu dipertimbangkan dengan bijaksana dan matang. Studi-studi berkaitan dengan pembangunan, seperti studi kelayakan (feasibility study), analisis dampak lalu lintas, dan analisis dampak lingkungan sebelum pembangunan dilaksanakan perlu diperhatikan dengan serius.

Ada baiknya pula, jika penentuan kebijakan ini menimbang ulang kebutuhan kota sehubungan dengan permasalahan kemacetan. Apakah kita benar-benar membutuhkannya? Ada dua sudut pandang berbeda yang bisa digunakan untuk memandang permasalahan kemacetan di Manahan.

Jika hambatan palang kereta api adalah sumber permasalahan kemacetan, maka permasalahan dapat diatasi dengan membuat ruang baru untuk mengalirkan kendaraan. Dalam hal ini, pembangunan flyover bisa menjadi salah satu pilihan kebijakan. Akan tetapi, membangun flyover hanya akan menghilangkan macet di sisi ini dan beresiko mendistribusikan macet ke lokasi lain, seperti perlintasan rel kereta api di Pasar Nongko, persimpangan Masjid Kota Barat, atau persimpangan yang mempertemukan Jalan Wora-Wari dengan Jalan Dr. Moewardi.

Akan tetapi, jika permasalahan kemacetan adalah akibat jumlah kendaraan yang terus bertambah dari tahun ke tahun, maka pembangunan flyover bukan jawabannya. Pembangunan flyover sebagai upaya mengatasi kemacetan bagaikan membangun selang baru untuk melancarkan lalu lintas di satu titik, tapi permasalahan macet akan senantiasa menjadi permasalahan tak terselesaikan di kota.

Di samping mendistribusikan kemacetan, studi Auttakorn Sala (2013) dan Narabodee Salatoom dan Pichai Teneerananon (2015) menunjukkan setelah flyover dibangun terdapat peningkatan lalu lintas kendaraan bermotor yang melintasi flyover. Mohammad Shakil Akhter (2009) mengungkapkan pembangunan flyover dengan infrastruktur angkutan metro di Bangkok tidak menyelesaikan kemacetan, malahan mendorong orang membeli lebih banyak kendaraan.

Pada akhirnya, setiap kali kita melangkah untuk mengatasi permasalahan transportasi di perkotaan, kita akan dihadapkan pada pilihan kebijakan. Tak jarang, ada harga sepadan yang perlu dibayarkan ketika memilih salah satu pilihan di antara banyaknya pilihan. Manakah yang akan kita pilih dan lakukan?

 

Catatan: Tulisan ini didiskusikan dalam Kajian Solo di Balai Soedjatmoko, hari Selasa, 18 April 2017 dan diterbitkan dalam rubrik Gagasan Harian Umum SOLOPOS pada 20 April 2018.

Sukma Larastiti, bergiat di Transportologi untuk mengembangkan transportasi yang berkelanjutan

2 thoughts on “Flyover: Solusi Kemacetan di Perkotaan?

  1. Pemerintah tdk mau mengambil kebijakan pembatasan kendaraan, seperti memahalkan harga mobil, menaikkan pajak kendaraan, menaikkan tarif parkir dll. Karena itu akan menurunkan elektabilitas politik pemilu selanjutnya. Hahaha.. Hanya beropini.

    1. Kami menyadari upaya-upaya itu memang sulit. Sebetulnya selain mengaitkannya dengan elektabilitas pemilu, kebijakan ini rentan menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang tak kalah besar, yang nantinya juga dapat bermuara pada persoalan politik–yang tidak terbatas pada masalah elektabilitas saja. Di balik lalu lintas yang macet ada industri otomotif yang mau tidak mau menopang negeri ini, bukan hanya dari sisi pendapatan pajaknya, melainkan juga tenaga kerja dan lowongan pekerjaan. Ini berarti kehidupan banyak orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Selain itu, jika melihat laporan BI di Jawa Tengah (2017) ataupun laporan tirto.id (2018) porsi pajak kendaraan bermotor masih sangat besar dalam postur anggaran. Dengan tantangan seperti ini, sangat wajar seorang pembuat kebijakan kesulitan memutuskan kebijakan yang mendobrak dan seringkali lebih memilih status quo. Yang perlu dicari saat ini adalah kebijakan alternatif sebagai kebijakan transisi untuk menuju ke sana. Kebijakan transisi ini penting sebagai bantalan agar dampak yang timbul tidak terlalu keras. Itu salah satu yang masih kami, Transportologi, pikirkan dan coba usahakan.

Leave a Reply to Ani Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *