Untuk memahami pembangunan flyover Manahan di Kota Surakarta, kami telah melakukan analisis masih dalam tahap perencanaan. Apakah pembangunan tersebut memberikan manfaat optimal bagi masyarakat Surakarta? Apa saja masalah yang mungkin muncul dari pembangunan tersebut? Tulisan ini disusun berdasarkan materi presentasi analisis yang kami lakukan dalam diskusi Kajian Solo di Balai Soedjatmoko pada April 2017.

Latar Belakang

Rencana pembangunan flyover di Manahan Kota Surakarta tak terlepas dari tujuan pemerintah kota untuk merealisasikan kebijakan mengentaskan permasalahan kemacetan, salah satunya yang muncul di perlintasan sebindang. Kebijakan ini beririsan dengan amanat Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian pasal 91 yang menyatakan bahwa perpotongan antara jalur kereta api dan jalan raya harusnya tidak dibuat sebidang.

Di kawasan Soloraya, upaya mengurangi masalah kemacetan sudah dilaksanakan di wilayah Makam Haji, Sukoharjo dengan infrastruktur berupa underpass. Dalam perjalanannya, underpass ini menimbulkan masalah berupa genangan ketika curah hujan tinggi dan pompa tidak berfungsi baik. Rencana untuk membuat underpass di perlintasan Purwosari dibatalkan dan terdapat permintaan dari kalangan warga untuk membuat flyover.

Pada akhir 2016 dan awal 2017, terdapat usulan untuk membangun flyover di Manahan terlebih dahulu dengan menggunakan teknologi Corrugated Mortarbusa Pusjatan (CMP) yang jauh lebih murah dan lebih cepat pengerjaannya dibandingkan flyover konvensional. Surakarta adalah pilot project CMP kedua di Indonesia setelah flyover Antapani di Bandung. Flyover Antapani, Bandung dibangun dengan landasan nalar yang sama bahwa dengan menyediakan jalan melayang ke atas, kemacetan dapat terurai. Namun sayangnya, pascapembangunan flyover Antapani, jalan di kawasan flyover tersebut tetap saja macet.

Dengan latar belakang studi kasus tersebut, kami melakukan kajian sederhana—karena keterbatasan biaya melakukan riset besar—untuk mengidentifikasi permasalahan yang mungkin muncul setelah pembangunan terjadi. Permasalahan tersebut merentang dari permasalahan teknis lalu lintas hingga sosial-ekonomi. Kami juga berusaha menyediakan uraian-uraian alternatif jika tidak terbangun atau tetap akan dibangun.

Memahami Kemacetan

Sebelum masuk jauh ke dalam analisis masalah rencana pembangunan flyover Manahan, kita perlu memahami konsep kemacetan. Pemahaman atas konsep ini diperlukan untuk melihat apakah pembangunan ini sudah sangat urgen dilakukan? Apakah benar dengan adanya flyover ini kemacetan akan hilang?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat kemacetan sebagai keadaan terhenti, tidak lancar.  Secara teknis, kondisi macet ini ditandai oleh dua hal, yakni besarnya penggunaan ruang oleh kendaraan di jalan—yang secara sederhana dirumuskan sebagai nisbah volume kendaraan dibandingkan kapasitas jalan—dan meningkatnya tundaan waktu tempuh perjalanan sehingga perjalanan semakin lama.

Kemacetan di perkotaan terutama diukur di persimpangan jalan, bukan sepanjang ruas jalan. Kemacetan juga sering terjadi karena adanya persimpangan, kecuali di ruas jalan terdapat penyempitan jalan sehingga arus kendaraan terganggu. Kemacetan ini pun sangat khas karena muncul saat jam-jam sibuk. Selama satu hari, jam sibuk ini umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu jam sibuk pagi, siang, dan sore. Kemacetan paling berat biasanya terjadi saat jam sibuk pagi dan sore.

Istilah macet ini lebih sering dilekatkan pada istilah kemacetan kendaraan bermotor, bukan kendaraan tidak bermotor. Indonesia tidak mengenali istilah macet bagi kendaraan tidak bermotor. Sehingga, seluruh upaya pengentasan kemacetan umumnya berujung pada solusi memfasilitasi kendaraan bermotor, entah dengan rekayasa manajemen lalu lintas atau dengan menyediakan infrastruktur baru.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) baik Indonesia maupun Kota Surakarta, kita dapat melihat tren kepemilikan kendaraan yang terus meningkat. Statistik nasional bahkan memperlihatkan pertumbuhan kendaraan bermotor kita, khususnya mobil dan sepeda motor, yang bersifat eksponensial. Sementara itu, dibandingkan pertumbuhan kendaraan bermotor yang cepat, pertumbuhan luas jalan maupun angkutan umum relatif stagnan. Data ini memperlihatkan bahwa Indonesia semakin menuju pada tren kemacetan, khususnya di kawasan perkotaan. Kondisi ini juga yang kini terjadi di Kota Surakarta.

Pertumbuhan Kendaraan Indonesia (Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, 2018)
Pertumbuhan kendaraan di Kota Surakarta (Sumber: kompilasi data Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, 2008-2018)

Penyediaan flyover di Manahan adalah upaya untuk menyediakan ruang (baca: selang) yang berfungsi sementara mengalirkan kemacetan yang dulu muncul akibat tundaan di perlintasan rel kereta api sebidang, akan tetapi tetap menimbulkan kemacetan di kawasan lain dan hal ini tidak terelakkan. Jika penataan sistem transportasi perkotaan dilandaskan pada penyediaan infrastruktur tambahan, Kota Surakarta pada akhirnya perlu membangun infrastruktur-infrastruktur yang baru, yang tak hanya dari sisi biaya investasi dan juga biaya eksternal, seperti biaya polusi, kesehatan, sosial, atau kerusakan lingkungan.

Pengentasan masalah kemacetan perkotaan hanya memiliki satu solusi yakni dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor di jalan raya dengan memindahkan orang untuk berjalan kaki dan naik angkutan umum. Selama hal ini tidak dilakukan, kota-kota akan masih menikmati kemacetan.

Dampak Mikro dan Meso

Untuk mengetahui dampak dan masalah yang mungkin timbul dari pembangunan flyover di Manahan, kami membagi analisisnya ke dalam skala mikro dan meso. Pada skala mikro, kami menganalisis masalah dalam jarak kurang lebih 250 meter dari titik rencana pembangunan. Pada skala meso, kami menganalisis masalah dalam jarak antara 1 – 1,5 kilometer dari titik rencana pembangunan.

Dari sisi transportasi, rencana pembangunan flyover Manahan mengakibatkan pejalan kaki, pesepeda, becak, difabel, atau pedagang kaki lima tidak dapat mengakses sisi utara atau selatan karena akses di bawah flyover ditutup. Mereka harus berputar melintasi akses jalan lain yang jauhnya lebih dari 500 meter. Kendaraan bus Batik Solo Trans (BST) koridor 2 kesulitan untuk memutar di Jalan Dr. Moewardi karena ruang putar bus yang sempit di bawah flyover. Pembangunan ini juga menghilangkan dan mengurangi jalur lambat dan trotoar di Jl. MT. Haryono dan Jl. Dr. Moewardi. Pembangunan ini juga mengakibatkan perubahan rute perjalanan warga.

Dari sisi sosial dan ekonomi, pembangunan flyover meningkatkan kerentanan bisnis warga dan penurunan nilai lahan. Sebelum dibangun flyover, kawasan Manahan dan Kota Barat di sepanjang Jl. Dr. Moewardi merupakan pusat aktivitas warga, baik untuk rekreasi atau berdagang. Dari sisi keamanan, bangunan flyover yang besar dan tertutup, yang menciptakan bayang-bayang, meningkatkan resiko kejahatan, terlebih pada malam hari.

Dari sisi lingkungan, flyover meningkatkan getaran, kebisingan, dan polusi udara. Keberadaan flyover yang menghalangi akses kendaraan tidak bermotor dan angkutan umum, justru mendorong warga untuk menggunakan kendaraan bermotor pribadi untuk melakukan perjalanan. Sebagai akibatnya, ada peningkatan penggunaan kendaraan bermotor menuju kota, meningkatnya peluang kemacetan, dan peningkatan polusi.

 

Analisis dampak skala mikro
Analisis dampak skala meso

Keselamatan Kereta yang Problematis

Menguatnya kebijakan pembangunan flyover kendati memiliki banyak dampak tak terlepas dari tuntutan UU tentang Perkeretaapian yang mewajibkan seluruh perlintasan sebidang dihilangkan demi menjamin keselamatan dan kelancaran kereta api. Rencananya ada 500 hingga 800 perlintasan rel sebindang di Pulau Jawa yang akan ditutup akibat kebijakan ini.

Hal ini berarti ada kebutuhan dana infrastruktur yang besar dan masalah mobilitas perjalanan karena akses bagi publik semakin sulit, kecuali bagi kendaraan bermotor. Di Kota Surakarta, kebijakan ini akan membuat wilayah Kecamatan Banjarsari dan Jebres bagian utara terisolir dan sulit diakses publik bukan pengguna kendaraan bermotor. Ini belum dari pertimbangan aksesibilitas infrastruktur dari sisi desain yang tidak memudahkan gerakan beberapa jenis kendaraan.

Untuk mengetahui seberapa besar keselamatan kereta api terganggu akibat kendaraan bermotor dan frekuensi kereta api per hari, kami melakukan pencarian data kereta api dari Grafik Perjalanan Kereta Api (GAPEKA) tahun 2017 dan data kecelakaan kereta api dari Buku Informasi Kereta Api Tahun 2014. Berdasarkan data GAPEKA 2017, selama sehari ada 115 perjalanan kereta api, dengan kurang lebih 62 kereta api merupakan kereta penumpang. Rata-rata kereta api yang melintasi rel sebanyak 2-3 kereta api per jam dengan kondisi paling padat sore hingga malam hari. Kereta api ini memiliki jeda tiap kereta rata-rata 25 menit per kereta api.

Rata-rata jumlah kereta per jam (Sumber: GAPEKA, 2017)
Rata-rata waktu jeda kereta api (Sumber: GAPEKA, 2017)

Sementara itu, dari sisi kecelakaan, dari periode 2010 hingga 2014 terdapat tren penurunan kejadian kecelakaan kereta api. Kejadian kecelakaan kereta api lebih banyak diakibatkan oleh kejadian anjlokan daripada tabrakan sesama kereta api atau dengan kendaraan. Indonesia sendiri memiliki 5.211 perlintasan rel resmi dan tidak resmi. Di Pulau Jawa, ada sebanyak 3.892 perlintasan resmi, dengan 969 perlintasan dijaga dan 2.923 tidak dijaga, serta 410 perlintasan tidak resmi. Di Pulau Sumatra ada sebanyak 701 perlintasan resmi, dengan 205 perlintasan dijaga dan 496 tidak dijaga, serta 208 perlintasan tidak resmi.

Di Kota Surakarta, dengan melakukan penulusuran berita, kami menemukan bahwa kejadian kecelakaan kereta api cukup jarang terjadi. Pada tahun 2013 di Pucang Sawit, tahun 2014 bus BST terjepit palang kereta api, tahun 2015 di Nayu dan Nusukan, tahun 2016 di palang Joglo, dan tahun 2017 di Kampung Bayan.

Data Kecelakaan Kereta Api

No. Uraian Satuan 2010 2011 2012 2013 2014
A. Korban (Orang)
1. Meninggal dunia Orang 79 39 4 0 3
2. Luka berat Orang 93 45 8 0 7
3. Luka ringan Orang 104 28 37 0 6
Jumlah korban Orang 276 112 49 0 16
B. Jenis kecelakaan
1. Tabrakan KA dengan KA Kejadian 3 1 2 0 1
2. Tabrakan KA dengan kendaraan Kejadian 26 22
3. Anjlokan Kejadian 25 23 21 25 33
4. Terguling Kejadian 4 2 2 1 0
5. Banjir atau longsor Kejadian 6 1 4 7 2
6. Lain-lain Kejadian 4 6 2 6 3
Jumlah kecelakaan Kejadian 68 55 31 39 39
C. Penyebab kecelakaan
1. Sarana Kejadian 11 11 12 11 5
2. Prasarana Kejadian 6 4 3 6 6
3. SDM Operator Kejadian 14 13 8 11 8
4. Eksternal Kejadian 28 26 4 3 18
5. Alam Kejadian 9 1 4 8 2
Jumlah penyebab kecelakaan Kejadian 68 55 31 39 39

(Sumber: Direktorat Jenderal Perkeretaapian, 2014)

Berdasarkan kondisi ini, pembangunan infrastruktur tambahan sebetulnya kurang begitu diperlukan. Yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran masyarakat untuk menjamin keselamatan kereta api saat melintas. Di Kota Surakarta, rel yang berada di sepanjang Jl. Slamet Riyadi yang menyatu dengan jalan sebetulnya menjadi contoh yang baik bahwa kereta api dan moda lain dapat berdampingan. Pada kasus ini, jika pemerintah kota saklek menuruti perintah UU tentang perkeretaapian yang mewajibkan penyediaan infrastruktur tak sebidang di Jl. Slamet Riyadi akan menimbulkan masalah baru. Kota Surakarta perlu membangun fasilitas kereta api yang memanjang dari Purwosari hingga stasiun Kota.

Urgen?

Berdasarkan analisis kami, rencana pembangunan flyover di Manahan masih belum urgen dilaksanakan. Kota Surakarta membutuhkan strategi pengelolaan sistem transportasi yang komprehensif dan lebih handal dari pada yang sudah dilaksanakan selama ini. Problem kemacetan perkotaan tak akan usai dengan membangun flyover, yang berbiaya besar, pada beberapa lokasi persimpangan.

Jika tetap dilaksanakan, perencanaan pembangunan harus mengakomodasi riset-riset teknis yang memadai baik dari sisi infrastruktur (keselamatan, keamanan, masalah genangan, dan ketersediaan fasilitas bagi moda lain), lingkungan, sosial, dan ekonomi. Jangan sampai rencana pembangunan ini menimbulkan dampak yang lebih besar atau ekses yang tidak teridentifikasi sejak awal perencanaan yang akhirnya merugikan masyarakat luas. Kalaupun pihak yang dirugikan tetap ada, tugas perencanaan adalah memastikan bahwa kalangan yang dirugikan tidak semakin kesulitan setelah kebijakan dilaksanakan.

 

Sukma Larastiti dan Titis Efrindu Bawono

 

Referensi:

Badan Pusat Statistik Kota Surakarta. 2018.

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2018.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

Unit Operasi Daop 7 Madiun. 2017. Jadual Perjalanan Kereta Api Gapeka.

Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementrian Perhubungan Indonesia. 2014. Buku Informasi Kereta Api.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *