Kabar adanya rencana penebangan pohon di Jalan Slamet Riyadi dan Jalan Yosodipuro (beberapa telah terlaksana) di SOLOPOS pada Jumat (27/10) dan Senin (30/10) amat disayangkan. Selama ini, kedua jalan tersebut termasuk salah dua koridor yang menunjukkan wajah Kota Solo yang lestari, teduh, dan asri.

Penebangan pohon dalam pembangunan sejatinya termasuk ke dalam paradigma pembangunan konvensional, yang belakangan ini mulai disarankan untuk ditinggalkan. Paradigma pembangunan konvensional melihat alam sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan dan sewaktu-waktu dapat disingkirkan demi pembangunan yang diperlukan manusia. Dalam kasus Solo saat ini, penebangan pohon tak terelakkan demi pembangunan drainase. Drainase dibutuhkan untuk mengalirkan air di permukaan tanah sehingga tidak menyebabkan bencana banjir di dalam kota.

Dalam logika ini, sayangnya, ada persoalan-persoalan yang seringkali luput kita pahami. Yang pertama, banjir sesungguhnya merupakan bagian dari siklus alam dalam mengelola dirinya sendiri. Air hujan jatuh ke bumi, diserap oleh tanah, dan menuju laut.

Kemampuan penyerapan air oleh tanah akan lebih besar jika di sana ada pepohonan dan organisme tanah yang membuat pori-pori tanah semakin banyak sehingga semakin mudah dilalui air. Kelebihan air yang tidak mampu terserap oleh tanah, melimpas di permukaan tanah dan dinamai banjir. Banjir disebut bencana saat ia melimpas di ruang-ruang yang ditinggali oleh manusia dan menimbulkan kerugian imateriil dan materiil.

Yang kedua, bencana banjir dianggap dapat diselesaikan dengan membuat drainase. Padahal, infrastruktur perkotaan ini sebenarnya hadir tak terlepas sebagai akibat perubahan ruang dan lingkungan perkotaan yang ditimbulkan oleh manusia itu sendiri. Ruang-ruang ditutup jalan aspal dan bangunan beton.

Semakin luas lahan tertutup aspal dan beton, semakin banyak pula air yang mengalir di permukaan tanah. Air yang seharusnya mengalir alami melalui penyerapan tanah tetap bertahan di atas permukaan aspal dan beton. SOLOPOS (30/10) mencatat Kota Solo hingga kini baru memiliki 9% ruang terbuka hijau (RTH) dari yang seharusnya sebesar 30% dari keseluruhan kota (dengan 20% RTH publik dan minimal 10% RTH swasta).

Penebangan pohon untuk membuat drainase tak berarti dapat menghidarkan kita dari banjir. Tak hanya itu, hilangnya pohon dari lingkungan kita dapat berakibat pada berkurangnya kemampuan tanah untuk meresapkan air, melainkan juga dapat menghilangkan peluang kita untuk mendapatkan cadangan air dan udara bersih untuk kota, dua hal yang menjamin kehidupan kita yang selama ini kita peroleh dengan cuma-cuma.

Pilihan Etis

Paradigma pembangunan berkelanjutan diperkenalkan sebagai pengganti paradigma pembangunan konvensional yang hanya memperhatikan kebutuhan spasio-temporal manusia. Pembangunan semestinya hadir tak hanya untuk manusia tetapi juga untuk menjamin daya dukung alam untuk mendukung kehidupan itu sendiri, baik untuk saat ini maupun masa depan.

Berkembangnya paradigma ini memiliki keterkaitan erat dengan permasalahan lingkungan sekitar kita yang semakin lama berakumulasi dan mendorong fenomena perubahan iklim. Perubahan iklim mengakibatkan adanya gejala-gejala alam ekstrem yang menimbulkan dampak yang cukup besar di bumi.

Kasus terakhir yang terjadi adalah adanya tiga badai ekstrem—Harvey, Irma, dan Maria dengan kekuatan badai kategori 4—yang terjadi di kawasan Karibia yang terjadi selama empat minggu berturut-turut. Badai ini meluluhlantakkan kota dan pulau yang berada di sana, menimbulkan korban jiwa, dan kerugian materiil yang tidak sedikit.

Apa hubungannya dengan pembangunan dengan penebangan pohon di Kota Solo? Pada skala kecil, penebangan pohon tidak memiliki efek langsung yang akan merugikan kita. Namun demikian, jika pembangunan yang kurang ramah lingkungan terus-menerus terjadi dan terakumulasi, dampak yang sebelumnya laten akan semakin membesar.

Khusus Kota Solo, bukan sekali ini pemerintah kota melakukan penebangan pohon untuk kepentingan pembangunan. Kalaupun penanaman pohon kembali (di lokasi lain) dijadikan solusi atas prasyarat pembangunan berkelanjutan, langkah ini perlu disingkapi dengan hati-hati. Pohon baru membutuhkan waktu untuk tumbuh kembali dan menjalankan fungsi alaminya. Dalam jeda waktu selama itu, bagaimana kondisi lingkungan kita? Apakah ini langkah yang sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan?

Pada skala nasional, tidak sedikit kota yang membangun dengan menebang pohonnya. Kegiatan penambangan dan pembukaan lahan untuk perkebunan kerap kali dilakukan dengan penebangan pohon tanpa proses rehabilitasi ke kondisinya yang semula.

Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change dalam Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016. Negara, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 (b) Persetujuan Paris, perlu melakukan pembangunan berkelanjutan yang rendah emisi gas rumah kaca. Pembangunan yang berkelanjutan diharapkan menjadi upaya memperlambat laju kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celsius di atas tingkat masa pra-industrialisasi. Berkaca pada UU ini, pembangunan drainase yang dilakukan oleh pemerintah kota dengan melakukan penebangan pohon belum sepenuhnya mengikuti prasyarat pembangunan berkelanjutan.

Sedihnya, ada satu studi yang dilakukan oleh Benjamin J. Henley dan Adrew D. King (2017) yang memprediksikan bahwa batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius dapat terlewati sekitar tahun 2029 atau 2031, kurang lebih 12 hingga 14 tahun lagi. Dengan demikian, seluruh kota di muka bumi kini tengah berada pada masa-masa kritis dan posisi balik untuk menentukan pilihan etis: merawat bumi atau merusaknya demi kepentingan manusia yang terbatas.

Satu Bumi

Karlina Supelli dalam bukunya Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme melukiskan upaya-upaya para kosmolog memodelkan alam semesta, guna mengetahui bagaimana alam semesta, termasuk bumi, terbentuk. Teori kosmologi kuantum memiliki kemungkinan untuk menghadirkan 10500 alam semesta. Sayangnya, walaupun terdapat banyak alam semesta yang mungkin dihadirkan, alam semesta ini tidak berarti mampu menyokong kehidupan di dalamnya. Peluang untuk menghadirkan alam semesta itupun membutuhkan lontaran sebanyak 10123 kali.

Peluang itu semakin mengecil jika di dalam model itu dimasukkan syarat bahwa alam semesta harus memasukkan kondisi minimum agar ada peluang kehidupan di bumi dan evolusi di dalamnya. Artinya, kita hidup di dalam satu ruang yang sangat langka untuk dihadirkan. Upaya-upaya penjelajahan ruang angkasa untuk menemukan planet lain yang layak huni hingga kini pun masih belum berhasil. Hanya ada satu planet, bumi, yang dapat ditinggali dan memberikan kehidupan.

Carl Sagan, dalam bukunya Kosmos, mengatakan, “Ada planet-planet di mana kehidupan tidak pernah muncul. Ada planet-planet yang telah terbakar hangus dan hancur akibat bencana kosmik. Kita beruntung: kita hidup; kita kuat; kesejahteraan peradaban kita dan spesies kita berada di dalam genggaman tangan kita. Jika kita tidak menjadi juru bicara Bumi, siapa yang akan melakukannya? Jika kita tidak berkomitmen terhadap kelangsungan hidup kita sendiri, siapa yang akan melakukannya?”

Upaya merawat dan menjaga Bumi berarti merawat dan menjaga ruang hidup kita bersama. Upaya ini tidak hanya cukup dengan meratifikasi Persetujuan Paris, melainkan juga perlu dicangkokkan ke dalam program-program implementasi dan juga ke dalam dokumen UPL/UKL, Amdal, dan Andalalin sebagai salah satu komitmen atas pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah juga perlu mendengarkan suara para pemerhati lingkungan. Mereka adalah masyarakat umum yang sama-sama memperjuangkan kepentingan umum, kepentingan untuk hidup dengan air dan udara bersih serta tanpa bencana.

Kita bisa memulai upaya menjaga dan merawat bumi dengan langkah kecil: menjaga dan merawat pohon yang kita miliki saat ini. Kita masih butuh pohon.

 

Catatan: Tulisan ini telah terbit di rubrik Gagasan Harian Umum SOLOPOS pada 3 November 2017

Sukma Larastiti, bergiat di Transportologi untuk mengembangkan transportasi yang berkelanjutan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *