Laporan ini merupakan ringkasan kegiatan diskusi yang bertajuk “Penataan Angkutan Umum Kota Bandung” yang diselenggarakan pada 29 November 2019 di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Diskusi ini dilaksanakan atas kerjasama World Resources Institute (WRI) Indonesia, Bloomberg Philanthropies Institute for Global Road Safety (BIGRS), Universitas Katolik Parahyangan, Institute Sustainable Transport Indonesia (ISTI), dan Transportologi. Laporan Bagian 1 memuat materi yang disampaikan oleh para pemantik diskusi.

Kemacetan adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi masyarakat urban di kota-kota di dunia, termasuk Indonesia. Masalah ini pula yang kini turut menjangkiti Kota Bandung dan, sayangnya, belum dapat terurai.

Ada berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban lalu lintas jalan dan kemacetan, salah satunya dengan menata dan meningkatkan layanan angkutan umum. Harapannya, orang-orang yang sebelumnya naik kendaraan pribadi dapat berpindah menggunakan angkutan umum yang mampu menampung banyak orang.

Kota Bandung telah melaksanakan penataan angkutan umum sejak 2009 dengan membentuk layanan angkutan umum Trans Metro Bandung dengan armada berupa bus. Layanan ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Trans Metro Bandung. Sejak 2009, Trans Metro Bandung sudah melayani empat koridor dan, pada 2019, bertambah satu koridor baru, yaitu Koridor 5.

Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya kondisi angkutan umum Kota Bandung masa kini, mengingat laporan Asian Development Bank (ADB) pada September 2019 menyebutkan Kota Bandung sebagai kota termacet di Indonesia di atas DKI Jakarta, yang selama ini lebih terkenal atas kemacetannya? Penataan angkutan umum seperti apa yang dibutuhkan oleh Kota Bandung untuk menghadapi tantangan ini dan tantangan masa depan? Berikut ini catatan kami:

 

Taufik Adiwianto (WRI Indonesia)

Taufik Adiwianto bersama WRI Indonesia melakukan analisis untuk peningkatan layanan angkutan umum Kota Bandung yang bertujuan meningkatkan cakupan layanan sistem angkutan massal, meningkatkan kapasitas angkutan umum, meningkatkan kualitas pelayanan angkutan umum, memperbaiki koordinasi dalam penyediaan sistem angkutan umum, dan mengintegrasikan angkutan umum satu dengan yang lain.

Program ini merupakan bagian dari program Bloomberg Initiative Global Road Safety yang bertujuan salah satunya sebagai upaya mewujudkan kendaraaan yang berkeselamatan di Kota Bandung. Perbaikan angkutan umum dapat membantu mempercepat hadirnya kendaraan yang berkeselamatan sebab resiko kecelakaan pada penumpang angkutan umum lebih kecil daripada kendaraan bermotor pribadi.

Perbaikan layanan angkutan umum kota Bandung dimulai dari kondisi dengan layanan publik yang buruk dengan pola pikir manajemen angkutan umum yang belum berorientasi pada layanan publik, dan bisnis yang belum menguntungkan kendati jumlah penumpang penuh.

Dari sisi layanan publik, sistem pembayaran elektronik yang disediakan difungsikan karena bisa dihidup-matikan secara manual. Akibatnya, sehingga pencatatan aktual jumlah penumpang tidak bisa dilakukan. Pada 2019, Bandung menerima hibah bus sebanyak 15 bus, tetapi bus tidak dioperasionalkan selama 10 bulan dan baru dapat beroperasi pada akhir tahun (melalui pelayanan koridor baru (koridor V)). Padahal, jika bus dijalankan, bus bisa menghasilkan pendapatan (dan layanan angkutan umum meningkat).

Pola trayek angkutan umum Kota Bandung masih mengikuti pola dari terminal ke terminal. Sistem ini tidak memerhatikan jaringan trayek yang terbentuk di Kota Bandung, menumpuk antara satu trayek dengan trayek lain. Kota Bandung juga banyak yang menerapkan sistem satu arah (one way) yang membuat penataan trayek agak sulit. Pola ini mengakibatkan trayek angkutan umum tidak efisien. Pola trayek angkutan umum seharusnya mengikuti permintaan (demand) penumpang.

Salah satu yang dihasilkan adalah usulan perubahan sistem trayek angkutan umum perkotaan dengan pusat transit di perkotaan yang didukung 21 koridor bus. Sistem ini dibuat untuk mengakomodasi permintaan perjalanan warga Bandung dan sistem jalan satu arah yang terdapat di Kota Bandung. Pusat transit di tengah kota berfungsi untuk mendukung proses transfer pengguna angkutan umum sehingga sistem angkutan umum lebih efisien.

Materi perencanaan angkutan umum yang disampaikan oleh Taufik Adiwianto (WRI Indonesia)

Pola pikir pengelolaan angkutan umum yang ada di Kota Bandung saat ini dipengaruhi oleh tiadanya budaya angkutan umum yang baik. Dulu, pengelolaan angkutan umum tidak diperhatikan oleh pemerintah. Ketika TransJakarta pertama kali muncul, kota-kota berlomba untuk meniru. Sayangnya, ketika pemimpin kota berganti, kebijakan ini berubah. Orientasinya belum pelayanan kepada warga.

Situasi ini jauh berbeda dibandingkan Semarang saat ini. Pengelolanya berusaha melayani warga. Pembiayaan angkutan umum Semarang pada 2019 mencapai Rp160 miliar dan, pada 2020, direncanakan naik hingga Rp200 miliar. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan Kota Bandung yang mengalokasikan anggaran sebesar Rp20 miliar. Pengelola angkutan umum Semarang juga bekerja sama dengan sistem pembayaran elektronik lain, seperti Go-pay atau Ovo, untuk mengintegrasikan pembayaran dan memudahkan pembayaran tiket penumpang.

 

Bey Arif Budiman (Pengamat dan Praktisi Transportasi)

Untuk mendukung perbaikan transportasi umum Kota Bandung, Bey Arif Budiman terlibat dalam pekerjaan untuk data terbuka (open data) di Kota Bandung, salah satu keterbukaan data yang disasar adalah data transportasi mengingat minimnya informasi di bidang pelayanan publik ini. Pekerjaan ini salah satunya menyasar peningkatan kondisi angkot di Kota Bandung.

Umumnya, warga mengganggap angkot sebagai salah satu penyebab kemacetan di Kota Bandung. Pertanyaannya, apakah memang demikian? Analisis terhadap data pertumbuhan kendaraan menunjukkan pertumbuhan kendaraan pribadi di Kota Bandung sangat tinggi. Dari data itu, kemacetan pada 2019 sudah dapat diprediksi.

Riset yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah angkot Kota Bandung telah mengalami penurunan sangat besar, hingga tersisa sekitar 40 persen dari total 5.500 angkot yang dapat dicatat. Data jumlah angkot yang valid sulit dicari karena pemerintah tidak memiliki jumlah angkot riil yang beroperasi di lapangan. Di Kota Bandung, ada tiga koperasi angkot besar serta satu koperasi bayangan yang mewadahi operasional angkot-angkot.

Pengelolaan angkot memiliki banyak masalah, meliputi turunnya penumpang, perlengkapan kendaraan yang tidak lengkap, pelayanannya buruk, model bisnis tradisional (setoran), tidak mematuhi aturan yang berlaku, tingkat kerentanan terhadap keamanan penumpang yang tinggi, dan trayek yang berubah-ubah.

Kasus kejahatan yang dihadapi di dalam angkot juga meninggalkan masalah, seperti kasus penumpang angkot ditodong pisau oleh pengamen, penumpang ketakutan, tetapi sopir juga kebingungan untuk bertindak. Sopir yang menghadapi situasi kejahatan juga dihadapkan risiko keselamatan tinggi.

Kendati angkot menghadapi banyak masalah, beberapa angkot bersedia berubah, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas layanan. Upaya itu dicoba dengan mencoba model bisnis baru seperti Angkot Booking atau program Angkot to School, program angkot mengantarkan anak-anak sekolah dari titik jemputan di sekitar rumah menuju sekolah di Kota Bandung.

 

Materi percobaan model bisnis baru yang disampaikan oleh Bey Arif Budiman

Persiapan program ini membutuhkan waktu hingga empat bulan, dari mulai berkunjung ke sekolah, meyakinkan orang tua murid bahwa program ini aman bagi murid, menyediakan pendamping, merekrut dan mendidik sopir untuk mengikuti standar layanan yang berlaku, seperti menggunakan seragam, tanda pengenal, tidak boleh merokok, tidak boleh terlambat, dan lainnya.

Hasilnya, anak-anak merasa senang berangkat naik angkutan umum bersama teman-teman mereka menuju sekolah. Program ini dilanjutkan beberapa sekolah yang bersedia walaupun pendanaan program telah habis.

Apa yang telah dikerjakan menunjukkan bahwa perbaikan angkot itu memungkinkan dan warga sebetulnya bersedia berpindah asalkan ada pelayanan yang terjamin. Kunci perbaikan layanan angkutan umum adalah perubahan pola pikir.

 

Rizki (WRI Indonesia)

Di WRI, M. Rizki saat ini terlibat dalam proyek transportasi berkelanjutan untuk pengimbangan emisi di sektor transportasi. Pengembangan transportasi berkelanjutan memiliki keterkaitan erat dengan emisi yang diproduksinya. Emisi yang menjadi penyebab pemanasan bumi dan perubahan iklim perlu ditekan dengan cara pengimbangan emisi (emission offset).

Pengimbangan emisi adalah upaya untuk melakukan penyerapan emisi yang setara dengan emisi yang dihasilkan. Misalkan, seorang pengguna mobil melakukan pengimbangan emisi dengan cara menanam pohon, melakukan restorasi terhadap hutan, atau menggunakan energi bersih.

Materi pengimbangan emisi yang disampaikan oleh M. Rizki (WRI Indonesia)

Di sektor transportasi, pengimbangan emisi dapat dilakukan dengan mengurangi kebutuhan perjalanan dan menghindari perjalanan yang betul-betul tidak penting (Hindari/Avoid); melakukan perpindahan moda dan menggunakan angkutan massal dan kendaraan tidak bermotor (Pindah/Shift); dan melakukan penggunaan teknologi untuk mengefisiensi energi termasuk bahan bakar dan operasi kendaraan (Tingkatkan/Improve).

Upaya pengimbangan emisi membutuhkan partisipasi dari warga, tidak hanya pemerintah. Indonesia sudah mulai melakukan penanganan emisi, peningkatan kualitas udara dengan membuat landasan hukum untuk kerja serta menyediakan layanan angkutan umum. Sayangnya, penggunaan angkutan umum masih rendah.

WRI Indonesia sedang mengembangkan alat yang bertujuan untuk inventarisasi emisi dan peningkatan kesadaran publik dengan teknologi aplikasi. Harapannya, alat ini

mampu membantu warga dan mendorong perubahan perilaku warga untuk pengimbangan emisi.

Dengan alat ini, warga menghitung emisi yang diproduksi, lalu dapat memulai perubahan dari skala induvidual dan diperluas ke komunitas yang lebih luas. Selain upaya WRI Indonesia, beberapa institusi dunia telah membuat kalkulator emisi yang dapat digunakan, diantaranya carboonfootprint, International Civil Aviation Organization (ICAO), SAS, dan EECA.

 

Tri Basuki Joewono (Universitas Katolik Parahyangan)

Pembicaraan terkait transportasi tidak hanya soal aspek fisik, melainkan visinya. Perubahan budaya bertransportasi menjadi menggunakan angkutan umum ini berarti sekaligus mengubah pola pikir tentang kota. Kota seperti apa yang diinginkan bersama-sama? Bagaimana mengubah pola pikir warga, dari anak-anak hingga orang tua, untuk memiliki akses yang sama?

Orang-orang, umumnya, adalah manusia yang rasional. Ketika menggunakan transportasi, mereka akan memilih mana yang lebih enak antara angkutan daring dibandingkan naik angkot. Masalah orang Indonesia (baca: kita) yaitu mereka kurang memiliki keberpihakan terhadap angkutan umum. Mereka berupaya untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri.

Saat pemerintah menyediakan layanan angkutan umum, sebenarnya saat itu pemerintah sedang meminta orang untuk berubah. Perubahan ini tidak dapat terjadi begitu saja. Perubahan didorong dengan cara mengkampanyekan manfaat angkutan umum yang baik bagi kehidupan warga.

Misalnya, riset telah menunjukkan bahwa transportasi publik mampu membuat orang lebih sehat, lebih bahagia, dan membuat hal-hal lain yang lebih baik. Dengan kehidupan orang yang berubah lebih baik, mereka akan berubah.

Orang-orang perlu diajak untuk merancang masa depan, kalau tidak visi bersama tidak akan terbentuk. Yang tak kalah penting, mengajak orang untuk mengalami. Orang yang telah mengalami manfaat angkutan umum akan memiliki loyalitas. Orang-orang yang loyal akan dengan sendirinya mengkampanyekan angkutan umum kepada orang di sekitarnya.

Bertransportasi publik adalah budaya, bukan sekadar penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, visi perlu diarahkan oleh kepemimpinan, berkolaborasi dengan ilmu pengetahuan untuk mengantisipasi perubahan. Indonesia tidak bisa salin-tempel kebijakan di bidang transportasi begitu saja, seperti pada kasus pengembangan berorientasi transit (Transit Oriented Development/TOD). Padahal, suatu kebijakan tertentu belum bisa dipahami esensinya dan kemungkinan tidak memiliki kesesuaian budaya wilayah yang dituju.

 

Sony Sulaksono Wibowo (Institut Teknologi Bandung/ITB)

Pengembangan angkutan umum di Indonesia yang tidak mudah tidak terlepas dari sejarah masuknya mobil dan pengembangan infrastruktur jalan pada tahun ‘70-an, terutama sejak masuknya Toyota. Keduanya berkembang pesat pada saat seharusnya Indonesia mengembangkan angkutan umum.

Pengembangan ini pada akhirnya mendorong perubahan pola pikir warga secara kultural untuk melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi ketimbang angkutan umum. Situasi yang terjadi jauh berbeda dibandingkan negara-negara di Eropa yang mengembangkan kultur naik angkutan umum.

Penggunaan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi utama warga tak terlepas dari kebutuhan ketepatan waktu dan kepastian saat di perjalanan. Dua alasan ini pula yang mendorong orang untuk menggunakan angkutan daring. Sebab, angkutan daring menawarkan kepastian.

Sementara itu, pengembangan angkutan umum di Indonesia terus bermasalah sejak tahun ‘90-an. Pengembangan angkutan umum tidak konsisten; warga perlu berpindah sebanyak dua hingga tiga kali ketika menuju lokasi tujuan akibat ketidaksesuaian perencanaan angkutan umum dengan tata ruang; dan perubahan rute (rerouting) tidak berhasil akibat tidak ada keseriusan dan konsistensi pengembangan angkutan umum dan penanganan masalah sosial, kendati solusi angkutan umum sudah ada banyak.

Pemerintah juga tidak ada keinginan untuk memberikan subsidi bagi angkutan umum. Padahal, angkutan umum akan sulit beroperasi tanpa subsidi, bahkan mati. Subsidi angkot dipandang tidak memiliki urgensi.

Pemerintah memilih mengembangkan infrastruktur jalan, seperti rencana jalan tol dalam kota atau jalan layang, dibandingkan angkutan umum. Jalan tol adalah solusi mudah saat ini untuk masa depan yang kurang baik. Angkutan umum adalah solusi sulit untuk masa depan yang lebih baik. Jakarta sendiri butuh waktu 30 tahun untuk mengembangkan angkutan umumnya untuk sebaik saat ini.

 

Laporan ini ditulis oleh Sukma Larastiti dan Titis Efrindu Bawono

One thought on “Angkutan Umum Kota Bandung Kini dan Nanti (Bagian 1)

  1. sayang sekali tidak ada rencana konkret untuk memperbaiki masalah ini, saya sangat berharap pemerintah mau memberi dana supaya kita bisa menaiki transportasi yang lebih nyaman dan aman dalam kota

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *